Rabu, 02 Januari 2013

ARTI NATAL


Posts from the ‘RUPA-RUPA TULISAN’ Category

ARTI NATAL

ARTI NATAL
nativity-scene (1)

ARTI Natal adalah, bahwa di dalam Kanak-kanak yang bertumbuh menjadi laki-laki dewasa, terdapatlah kunci kepada sumber kehidupan. Apa yang kita saksikan di dalam diri Yesus mengungkapkan kepada kita lebih banyak arti dunia daripada apapun juga.

Dari kenyataan peristiwa-peristiwa yang terjadi, pada dasarnya kita dapat menyaksikan bahwa cintakasih yang paling luhur ini merupakan hal yang paling nyata dan paling kuasa di dunia.
Hal ini menuntut iman yang luarbiasa besarnya, sehingga kita tidak sanggup menimbulkan iman itu, andaikata melalui Kristus kita tidak dapat melihat kenyataan yang paling hakiki, yakni Allah sendiri.
Inilah yang mau diberikan oleh pesta Natal kepada kita, yaitu bahwa Yesus dari Nazaret yang dianugerahkan kepada kita memungkinkan kita menyelami segala sesuatu secara mendalam. Sebab dalam Dia kita berdiri di atas wadas, yakni wadas cintakasih yang menjadi fondasi dan dasar pembangunan dan pembaharuan seluruh dunia.
Kristus adalah puncak sejarah, suatu pertemuan antara masa lama dan masa baru. Banyak orang beranggapan, bahwa Allah ada “di atas” atau “di sana”. Suatu pikiran bahwa ada makhluk surgawi yang mengutus putera-Nya ke dunia, amat mudah diterima, dan orang-orang sungguh yakin bahwa dewa-dewa mengunjungi dunia ini.
Kalau memang berguna untuk mengatakan, bahwa Yesus “mendobrak” kenyataan, sebagai ganti bahwa “Ia turun ke dunia”, marilah kita mengungkapkannya demikian. Maka hal-hal yang berkilau-kilauan di dalam kisah Natal seperti bintang, dan malaikat-malaikat dan paduan suara surgawi, tidak mempunyai arti yang sungguh-sungguh lagi, kecuali bertugas untuk menciptakan suasana yang meriah.
Kebenaran-kebenaran ini memang paling sukar untuk dimengerti. Kebenaran ini tidak ubahnya seperti kupu-kupu, kalau kita menangkapnya dan menusuknya dengan peniti untuk disimpan di dalam kotak, maka ia akan mati.
Oleh karena itu arti terdalam dari perayaan Natal, hanya dapat diungkapkan dalam bentuk suatu cerita, dengan puisi-puisi nyanyian para malaikat dan dengan bintang para Majus. Semoga pesta Natal yang meriah disertai arti yang sebenarnya dari peristiwa-peristiwa itu meresapi hati kita sekalian.
Sumber: J. Robinson, “Maar dat kan ik niet geloven”, Ten Have, Amsterdam: Carillon Paperback, 1968. Digubah dari Frater Timotheus, HIDUP DARI SABDA JILID III, Ende – Flores: Penerbitan Nusa Indah – Percetakan Arnoldus, 1972.
SELAMAT NATAL 2012 & SELAMAT TAHUN BARU 2013
jojo

SURAT KEPADA PARA PENGUNJUNG SITUS/BLOG “SANG SABDA” DAN “PAX ET BONUM” BERKAITAN DENGAN “HARI RAYA KRISTUS RAJA’

Saudari dan Saudari yang dikasihi Kristus,
Perihal: HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA
Pada hari ini, Minggu tanggal 25 November, Gereja merayakan “Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta” (“Hari Raya Kristus Raja”). Perayaan yang dimaksudkan untuk menghormati dan memuliakan Yesus Kristus sebagai Raja Semesta ini ditempatkan pada hari Minggu terakhir tahun liturgi, sehingga dengan demikian kita dapat secara publik mendeklarasikan kesetiaan kita kepada-Nya dan mengikuti-Nya ke dalam masa Adven yang baru. Sebagai umat Kristiani, kita diundang untuk menggantungkan pengharapan dan mimpi kita pada Kristus sang Raja. Dia adalah “Jalan” kepada kemenangan atas maut; “Kebenaran”, karena Dia adalah saksi yang dapat dipercaya; dan “Kehidupan”, sekarang dan selama-lamanya (bdk. Yoh 14:6).
Sudah begitu banyak kata yang diucapkan dan ditulis untuk menjelaskan Yesus Kristus kepada dunia, namun tetap saja banyak orang tidak mampu memahami Siapa diri-Nya dan memaknai secara mendalam misi-Nya di tengah dunia. Sebagai kontras, dapat saya katakan bahwa terkadang sepotong kalimat dalam Kitab Suci dapat sungguh mencerahkan tentang Raja kita ini. Dari bacaan kedua Misa Kudus hari ini, misalnya, kita membaca: “Yesus Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang mati dan yang berkuasa atas raja-raja bumi ini” (Why 1:5). Pernyataan Yohanes penulis Kitab Wahyu ini mengemukakan tiga kebenaran dasariah dengan menggunakan 20 kata saja dalam bahasa Indonesia. Tiga kebenaran yang sangat mendasar ini baik untuk kita renungkan, kita kontemplasikan pada “Hari Raya Kristus Raja” ini.
1. Yesus Kristus adalah Saksi yang setia. Yesus menyampaikan realitas-realitas yang telah Ia lihat namun belum kita lihat. Ia telah memberi kesaksian tentang Allah Tritunggal Maha Kudus (Trinitas), memproklamasikan Kerajaan Surga dan mewartakan tentang suatu hidup penuh kemuliaan tanpa akhir. Melalui kematian-Nya, Yesus telah memberi kesaksian tentang realitas transenden dari kasih dan pengampunan. Walaupun tidak mampu memahami secara mendalam hal-hal ini dan ajaran-ajaran spiritual lainnya, kita tetap percaya karena kenyataan bahwa Yesus adalah Saksi yang setia.
2. Yesus Kristus adalah yang pertama bangkit dari antara orang mati. Dalam kemenangan-Nya atas kubur-maut, Yesus memproklamasikan kebenaran dari kebangkitan badan. Lewat peristiwa yang sungguh luarbiasa ini, Yesus menunjukkan bagaimana kehidupan itu berlanjut dari dunia ini ke “dunia” selanjutnya, di mana maut tidak lagi dapat menyentuh kita. Selagi kita semua hari demi hari semakin dekat dengan kematian, kita dapat berjalan mendekati maut itu dengan penuh keyakinan yang diiringi semangat meluap-luap. Tuhan Yesus telah mengalahkan kubur-maut dan berjanji bahwa hal yang sama akan terjadi bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya. Ia yang pertama bangkit dari antara orang mati adalah model inspirasi bagi kita semua yang lahir ke dalam waktu dan keabadian. Yesus telah berjalan di dunia yang penuh ketidakpastian, dan mencabut sampai ke akar-akarnya tanda-tanda kematian, lalu Dia membangun sebuah jembatan yang membuka jalan kepada Kerajaan-Nya yang kekal-abadi.
3. Yesus Kristus adalah yang berkuasa atas raja-raja bumi ini. Ia memerintah sebelum raja yang manapun, dan pada saat semua raja akan menghilang dari sejarah, Kristus sang Raja akan tetap berdiri dengan kokoh selama-lamanya. Sejarah menunjukkan bahwa ada raja-raja yang lemah, ada raja-raja yang kuat, namun tidak ada raja kecuali Yesus Kristus yang sungguh Mahakuasa. Dia adalah ‘seorang’ Raja yang tak tertandingi dalam hal kasih, kesabaran, pengampunan, hikmat, dan segalanya yang baik.
Kristus sang Raja dimaksudkan untuk mengatur kehidupan kita dan harus menempati posisi yang pertama dan utama dalam kehidupan kita (lihat Kol 1:15-20; Ef 1:3-14). Sekarang, dalam TAHUN IMAN ini, apakah kita masih memandang dan menyembah Yesus yang penuh kemuliaan di tempat-Nya yang tertinggi itu? Apakah kita harus mengakui bahwa sesungguhnya diri kita sudah sekian lama “diatur” oleh kuasa-kuasa yang non-ilahi, seperti keserakahan, kerakusan, nafsu, dendam, kebencian, dan segala sikap dan perilaku yang berpusat pada kepentingan diri sendiri, dan bukan berpusat kepada Allah? Kalau begitu halnya, apa yang telah kita lakukan terhadap diri Yesus Kristus? Seperti orang banyak yang menyaksikan “pengadilan dagelan” atas diri-Nya sekitar 2000 tahun lalu, kehidupan kita dapat merupakan seruan keras ke tengah dunia: “Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia!” Dan seperti para imam kepala, kita juga berteriak keras-keras: “Kami tidak mempunyai raja selain Kaisar!” (Yoh 19:15).
Sebaliknyalah sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh para kudus semasa hidup mereka di dunia. Bagi mereka Yesus Kristus senantiasa merupakan pusat kehidupan mereka, Yesus senantiasa menjadi yang pertama dan utama! Santo Fransiskus dari Assisi; Santa Klara dari Assisi; Santo Bonaventura; Beato Yohanes Dun Scotus; Santo Ludovikus IX, raja Perancis; Santa Elisabet dari Hungaria, ratu; Santa Elisabet dari Portugal, ratu; Santo Thomas More, Lord High Chancellor (semacam Perdana Menteri) dari kerajaan Inggris; dan banyak lagi. Ada cerita menarik tentang orang kudus yang paling akhir disebutkan namanya di atas.
Pada suatu hari, ketika Thomas More sedang menghadiri Misa Kudus, seorang petugas istana mendekatinya dan berbisik kepadanya: “Tuanku, Sri Paduka Raja menginginkan agar Tuanku menghadap beliau dengan segera.” Thomas More menjawab: “Aku tidak dapat menghadap sekarang. Katakanlah kepada Sri Paduka Raja, bahwa aku sedang menghadap seorang Raja yang lebih besar daripadanya. Begitu tugas-kewajibanku kepada Raja yang lebih besar ini selesai, aku akan langsung menghadap Sri Paduka Baginda.” Petugas istana itu pun pergi dan Thomas More, sang Lord High Chancellor, melanjutkan doa-doanya dengan khusyuk sampai Misa Kudus berakhir. Santo Thomas More memandang Yesus Kristus sebagai Raja segala raja (Bahasa Inggris: King of kings). Singkat cerita: Orang kudus ini mati dipenggal kepalanya karena kesetiaannya kepada Kristus sang Raja melebihi kesetiaannya kepada Raja Henry VIII.
Saudari dan Saudaraku yang dikasihi Kristus,
Selamat merayakan “Hari Raya Kristus Raja” dan selamat bersiap-siap memasuki Masa Adven! Berkat Allah Tritunggal Mahakudus menyertai anda sekalian!
Cilandak, 25 November 2012
jojo

SURAT KEPADA PARA PEMBACA BLOG “SANG SABDA”: SALIB KRISTUS

Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus,
Kira-kira dua pekan lalu, Saudari dan Saudara kita yang beragama Islam merayakan sebuah pesta “kemenangan” setelah menjalani masa puasa selama bulan Ramadhan, yaitu hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1433 H. Pada hari Jumat penutup bulan Agustus ini saya juga ingin menulis sedikit tentang “kemenangan”, yaitu kemenangan dalam SALIB KRISTUS yang diinspirasikan oleh bacaan pertama (1Kor 1:17-25) Misa Kudus pada hari ini.
Pemberitaan tentang Salib Kristus. Di bukit Kalvari, Yesus tampil sebagai seorang pribadi yang paling goblok dan tolol sepanjang sejarah manusia (lihat Mat 27:41-43). Ia wafat pada kayu salib! Sampai hari ini pun masih ada Saudari-Saudara kita yang beriman lain, yang tidak percaya bahwa yang disalibkan itu adalah Yesus Kristus atau Isa Almasih. “Masa Allah membiarkan nabi-Nya mati konyol seperti itu?” Inilah salah satu argumentasi mereka.
Santo Paulus menulis: “… pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor 1:18). Ini adalah sebuah pesan tentang salib Kristus yang sangat jelas! Dengan bangga sang rasul juga mengatakan, “… aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Gal 6:14). Oleh salib Kristus, umat manusia ditebus dari dosa: “… kami telah mengerti bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati” (2Kor 5:14). Hukuman telah disingkirkan. Sekarang, semua orang yang berpaling kepada Bapa surgawi melalui iman kepada Kristus dibebaskan dari hukuman dan dimerdekakan dari ikatan-belenggu si jahat (lihat Kol 2:15).
Salib Kristus malah lebih indah daripada sekadar berfungsi sebagai intrumen yang berurusan dengan dosa-dosa kita. Mengapa? Karena melalui Salib Kristus kita tidak hanya dibebas-merdekakan dari kutukan dosa, melainkan juga diperdamaikan kembali dengan Allah. Penghalang, yang tadinya membuat permusuhan dengan Bapa surgawi, telah disingkirkan (Rm 5:10). Semua orang yang berbalik dari dosa dan dibaptis ke dalam Kristus menerima Roh ke dalam hati mereka (Kis 2:38). Roh Kudus ini yang menyatakan kepada kita bahwa kita adalah anak-anak Allah yang sangat dikasihi (Rm 8:15-16). Melalui Salib Kristus, kita mempunyai akses kepada takhta Allah (lihat Ef 3:12). Sebagai anak-anak Allah yang terkasih, kita dapat datang kepada-Nya setiap saat dan membuka hati kita untuk menerima hidup-Nya dan kasih-Nya.
Bapa surgawi sangat mengasihi kita! Bahkan – dalam Kristus – Ia telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya dan ikut ambil bagian dalam hidup ilahi-Nya (Ef 1:4-5); dan Ia tidak akan membiarkan sesuatu pun, seperti dosa, menghalangi jalan-jalan kita kepada-Nya seturut tujuan-tujuan-Nya.
Salib Kristus adalah sebuah tanda kemenangan umat Kristiani. Yesus dengan sukarela menanggung suatu kematian mengerikan yang merupakan akibat “pengadilan” dagelan dan keputusan yang tidak adil orang-orang yang memiliki otoritas pada masa itu, baik di bidang keagamaan maupun pemerintahan. Namun pada saat meregang nyawa Yesus mengampuni orang-orang yang mendzolomi diri-Nya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Di sinilah, di mana setiap konsepsi manusia tentang kuasa dan hikmat-kebijaksanaan gagal, kasih Allah justru memancar ke luar dengan terang-benderang. Salib Kristus memang sesungguhnya merupakan kuasa dan hikmat Allah, karena dalam kelemahannya dan kebodohannya, Salib Kristus telah menjadi instrumen penebusan kita semua…… tanda kemenangan!
Namun demikian, bagi banyak orang, penderitaan dan kematian Yesus pada kayu salib sama sekali bukanlah sebuah “kemenangan”. Mereka berpandangan apakah yang sesungguhnya telah dicapai oleh kematian-Nya, kecuali memberikan suatu contoh optimisme tanpa batas, bahkan naif? Akan tetapi, mereka yang memiliki hati terbuka bagi Yesus menyadari, bahwa walaupun “pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Karena ada tertulis: ‘Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan’ ” (1Kor 1:18-19).
Makna Salib Kristus. Salib Kristus sesungguhnya merupakan “perpanjangan” dari cara Yesus menjalani seluruh kehidupan-Nya. Yesus memilih untuk hidup sebagai manusia yang lemah, seorang miskin, seorang tukang-kayu dari kota kecil/kampung di Galilea yang karya pelayanan-Nya diwarnai jelas dengan “option for the poor”. Kemiskinan dalam Roh dari Yesus mampu melempar jauh-jauh tirani Iblis. Keindahan ketaatan-Nya menghancurkan dominion dari dosa dan pemberontakan. Ini adalah misteri agung dari salib. Kematian Yesus membayar lunas harga segala dosa kita. Dalam Yesus, kita memiliki hidup baru.
Pesan terutama dari Salib Kristus adalah, bahwa Yesus Kristus adalah seorang Anak yang taat-setia dan sempurna, sangat pantas menjadi sang Teladan untuk kita ikuti (lihat Yoh 13:15). Setelah ditinggikan pada kayu salib, Ia sekarang dimuliakan dalam surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa (lihat Yoh 8:28). Dan kita, tubuh-Nya di atas bumi, ditebus, diperdamaikan, dan dimuliakan untuk tujuan ini: agar dunia dapat mengetahui dan percaya akan Putera Allah yang mulia.
Catatan penutup. Sekarang, apakah mengherankan jika Santo Paulus mewartakan kebenaran dari “Kristus tersalib” kepada jemaat di Korintus? Paulus tahu bahwa pewartaannya ini, bagi orang-orang yang merangkul pesannya, akan mendatangkan kepenuhan “kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1Kor 1:23,24). Jadi, walaupun pewartaan Salib Kristus merupakan suatu “kebodohan” bagi yang mereka yang menolak – jadi tidak mengalami kuat-kuasa salib itu – mereka yang “diselamatkan” mengenal dan mengalami kebenarannya (1Kor 1:18), dengan demikian dapat bersukacita bersama Paulus.
Pada waktu kita (anda dan saya) memandangi dan merenungkan Salib Kristus, apakah kita melihat diri kita sendiri sebagai pribadi yang lemah dan tidak penting? Jangan cepat-cepat kita mendiskualifikasi diri kita! Kita memang bukanlah uskup, imam atau orang-orang yang memahami ilmu Ketuhanan. Kita mungkin saja tidak mempunyai banyak pengikut. Namun, apabila kita menguduskan hati kita bagi Tuhan, maka kita dapat mencapai lebih banyak daripada orang-orang yang paling diberkati, namun tidak mau menyerahkan hati mereka kepada-Nya.
Kita harus senantiasa mengingat, bahwa doa-doa kita dapat membalikkan gelombang dosa dalam rumah tangga kita, lingkungan di mana kita hidup, dan malah gereja kita. Cintakasih kita bagi Yesus dapat memperlembut hati manusia yang mungkin sebelumnya tidak tertarik samasekali kepada Tuhan. Oleh karena itu, marilah kita belajar mengasihi Yesus dan salib-Nya, dan tidak perlulah lagi kita berbicara banyak mengenai apa yang Allah dapat lakukan melalui diri kita.
Saudari dan Saudaraku yang dikasihi Kristus, marilah kita sekarang mendoakan doa Adoramus te: “Kami menyembah Engkau, Tuhan Yesus Kristus, di sini dan di semua gereja-Mu yang ada di seluruh dunia, dan kami memuji Engkau, sebab dengan Salib Suci-Mu Engkau telah menebus dunia.”
Cilandak, 31 Agustus 2012
Salam persaudaraan,
jojo

MARTABAT KITA SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

MARTABAT KITA SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH
“Ia datang kepada milik-Nya, tetapi orang-orang milik-Nya itu tidak menerima-Nya. Namun semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang dilahirkan bukan dari darah atau dari keinginan jasmani, bukan pula oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:11-13).
Pada siang hari ini saya akan menulis sedikit permenungan saya tentang martabat kita sebagai anak-anak Allah. Sebagai anak-anak Allah kita “boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2Ptr 1:4). Ini adalah martabat yang agung untuknya kita telah dipanggil, guna menjadi anak-anak Allah yang sesungguhnya. Dalam Injil ada perikop yang diberi judul “Yesus memberkati anak-anak”. Saya salin keseluruhan teksnya dari Injil Markus karena tokh tidak panjang, hanya empat ayat saja: “Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menyentuh mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Melihat hal itu, Yesus marah dan berkata kepada mereka, ‘Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan halang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Allah. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Siapa saja yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.’ Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya di atas mereka Ia memberkati mereka.” (Mrk 10:13-16; bdk. Mat 19:13-15; Luk 18:15-17).
Yesus mengajarkan kepada kita masing-masing apa artinya menjadi seorang anak Allah. Kerajaan Surga dijanjikan kepada mereka yang menyapa Allah sebagai “Abba, Bapa” – kepada mereka yang menjadi seperti anak-anak kecil, yang masuk ke dalam suatu relasi yang akrab dan penuh kasih dengan Allah.
Sekarang, apa artinya “menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil”? Seringkali kita memusatkan perhatian kita pada kualitas-kualitas pribadi yang mencirikan anak-anak dan kita berpikir bahwa kita harus meniru kualitas-kualitas pribadi tersebut dalam kehidupan kita. Anak-anak secara umum dipandang sebagai pribadi-pribadi yang innocent (imut-imut suci tanpa salah), bebas dari akal bulus, menunjukkan afeksi tanpa topeng, menaruh kepercayaan tanpa hitung-hitung, spontan, penggembira, dlsb. Kita – orang dewasa – mencoba untuk membuat karakteristik-karakteristik pribadi ini bagian dari diri kita, dan hasilnya biasanya negatif.
Para orangtua mengetahui bahwa kualitas-kualitas pribadi tersebut benar mencirikan anak-anak, namun para orangtua itu pun mengetahui ada sisi lain dari cerita ini. Anak-anak pun dapat ego-sentris, mau menang sendiri, suka irihati, dlsb. – dan termasuk juga tidak konsisten dalam perilaku mereka. Hampir semua anak bukan merupakan model keutamaan yang dengan mudah kita pahami untuk ditiru seperti diminta oleh Yesus. Jadi, apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Yesus?
Menjadi Anak-Anak
Karakteristik hakiki dari anak-anak yang Yesus ingin kita tiru adalah status mereka sebagai anak-anak. Apa pun karakteristik-karakteristik itu, kehidupan anak-anak kecil pada hakekatnya ditentukan oleh relasi mereka dengan para orangtua mereka – namun mereka adalah tetap anak-anak. Tidak ada sesuatu pun yang mengubah relasi dasar tersebut. Kenyataan ini dengan jelas diungkapkan dalam “Perumpamaan tentang anak yang hilang” (Luk 15:11-32). Si anak bungsu tidak berperilaku sebagai seorang anak yang baik, bahkan setelah pertobatannya dia hanya ingin kembali ke rumah ayahnya sebagai seorang upahan saja dari ayahnya. Walaupun demikian sang ayah menekankan bahwa dia adalah sungguh anaknya dan menyambutnya sepenuh hati sebagai anaknya. Bagaimana anak bungsu itu berperilaku tidak mengubah realitas dasar bahwa dia adalah putera dari ayahnya; juga hal itu tidak akan mengubah cintakasih sang ayah bagi diri si anak.
Ini adalah realitas fundamental bagi kita juga. Petikan dari bab pertama Injil Yohanes di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang mengakui Dia sebagai Tuhan akan dibuat-Nya menjadi anak-anak Allah. Apa yang paling penting bagi kita sebagai umat Kristiani adalah mengakui relasi tersebut dan masuk ke dalam relasi itu secara penuh. Bagaimana kita berperilaku juga penting: Para orangtua tidak menginginkan anak-anak mereka bersikap dan berperilaku tidak taat. Namun realitas dasarnya sederhana saja, yaitu fakta bahwa kita adalah anak-anak Allah.
Dipahami dalam terang ini, kata-kata Yesus “Siapa saja yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya”, mempunyai suatu arti yang berbeda. Kata-kata Yesus ini tidak dimaksudkan mendesak kita untuk mengadopsi karakter seperti anak atau menjadi kekanak-kanakan. Di sini Yesus minta kepada kita untuk mengakui martabat kita sebagai anak-anak Allah yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita. Dengan sangat serius Yesus mengatakan, bahwa kalau kita tidak masuk ke dalam relasi ini dengan Allah, maka kita tidak akan menjadi bagian dari Kerajaan Allah.
Memasuki relasi dengan Allah ini menuntut pengambilan keputusan di pihak kita. Kita dituntut untuk menerima Allah sebagai Bapa kita dan datang menghadap-Nya sebagai Bapa, dalam cintakasih dan penyembahan. Hal ini menuntut bahwa kita mengakui Putera-Nya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, dan kita menundukkan hasrat-hasrat kita terhadap perintah-perintah-Nya, artinya menempatkan perintah-perintah-Nya sebagai yang utama dan pertama dalam skala prioritas kita. Hal ini menuntut kita menerima Roh Kudus ke dalam kehidupan kita sebagai Pembimbing dan Kekuatan kita.
Akan tetapi, banyak lagi yang terlibat dalam proses kita menerima Allah sebagai Bapa kita dan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, jadi bukan suatu pengambilan keputusan yang sederhana dan sekali jadi. Bahkan setelah tanggapan awal terhadap rahmat Allah, seringkali kita perlu berurusan dengan sikap-sikap yang telah kita kembangkan bertahun-tahun lamanya – sikap-sikap yang menghalangi kita mengalami semua buah Roh Kudus dalam hidup kita. Terkadang sikap-sikap kita itu dapat melumpuhkan hidup-doa kita dan menghalang-halangi kita memasuki suatu relasi bebas dengan Allah sebagai Bapa kita. Secara khusus, kita dapat mengalami kesulitan untuk menerima bahwa kita sungguh telah diadopsi sebagai anak-anak Allah, …… sulit untuk memandang Allah sebagai seorang Bapa kita semua dan menghadap-Nya dalam doa sebagai seorang Bapa.
Gambaran-gambaran tentang Allah
Seringkali kita perlu mengoreksi imaji kita tentang Allah. Kalau kita membayangkan Allah sebagai suatu kekuatan yang impersonal yang memegang dan mengendalikan segenap alam semesta, memang sulitlah bagi kita membangun suatu relasi pribadi dengan Dia. Apabila kita membayangkan Allah sebagai Pribadi yang bermarkas jauh dari dunia dan memiliki sikap masa-bodoh terhadap masalah-masalah kita, maka kita tidak akan dapat menghadap-Nya dalam doa dengan keyakinan yang sungguh riil. Jika kita membayangkan Allah sebagai seorang hakim yang keras-kejam yang dengan hati-hati mencatat setiap dosa dan kesalahan kita untuk diperhitungkan dalam Pengadilan Terakhir, maka sungguh sulit bagi kita untuk mendekati Dia dengan berbekal apa pun, kecuali rasa takut yang mendalam. Ada banyak lagi gambaran tentang Allah yang negatif. Satu saja gambaran Allah yang negatif dapat mempengaruhi bawah-sadar kita serta memblokir kita untuk dengan bebas menghadap Allah dalam doa sebagai anak-anak-Nya. Ini adalah gambaran-gambaran Allah yang dapat menjadi tembok penghalang antara kita dan Allah. Penting bagi kita untuk tidak memperkenankan tembok penghalang itu berhasil merintangi niat kita untuk berelasi secara pribadi dengan Bapa surgawi.
Itulah sebabnya mengapa Yesus dengan serius mendesak para pengikut-Nya untuk menjadi anak-anak dalam relasi mereka dengan Bapa surgawi. Itulah sebabnya mengapa Santo Paulus menekankan bahwa Roh yang membimbing kita bukanlah “roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi …… Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, “Ya Abba, ya Bapa! Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah. Jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm 8:15-17). Itulah sebabnya mengapa Yesus mengajar kita untuk berdoa “Bapa Kami” (Mat 6:9-13; bdk. Luk 11:2-4).
Akan tetapi, walaupun kita mengetahui bahwa Allah telah menyatakan (mewahyukan) diri-Nya sebagai Bapa kita melalui Yesus Kristus, kita tetap saja dapat merasa ragu untuk sungguh menerima Dia sebagai Bapa kita. Bahkan ketika kita membuat upaya yang sungguh-sungguh untuk berelasi dengan Allah sebagai Bapa kita, kita tetap saja bingung – gamang dan galau – karena rasa bersalah yang terus-menerus menghantui diri kita.
Rasa bersalah
Kebanyakan kita mempunyai suatu self-image yang buruk. Kita sangat sadar akan kekurangan-kekurangan kita dan berasumsi bahwa setiap orang juga sadar akan hal itu. Kita tahu kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan kita; kita tahu sakit yang disebabkan kesalahan-kesalahan kita atas diri orang-orang lain, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Memang kita dapat menutup-nutupi rasa tidak aman kita di hadapan orang-orang lain, namun kita tidak dapat menyembunyikan semua itu dari pandangan Allah yang maha tahu. Ketika kita mencoba untuk masuk ke hadapan hadirat-Nya, kita dapat membawa-bawa rasa bersalah kita. Kita merasa tidak nyaman di bawah pandangan-Nya, karena kita tahu bahwa Dia mengetahui setiap dosa dan kesalahan kita. Kita merasa malu, tidak nyaman, dan diam-diam merindukan sebuah tempat menyembunyikan diri.
Kita harus menyadari bahwa perasaan-perasaan seperti itu bertentangan dengan segala sesuatu yang Yesus ajarkan kepada kita tentang cintakasih Bapa surgawi kepada kita. Seorang ayah dan ibu tahu bahwa anak-anak mereka yang masih kecil itu lemah; itulah sebabnya mengapa anak-anak secara istimewa membutuhkan cintakasih para orangtua. Apabila anak-anak menjadi sempurna – mandiri dalam segala hal – maka satu aspek pekerjaan para orangtua selesailah sudah. Akan tetapi seorang ibu dan ayah mencintai setiap anak, bahkan dalam hal kebutuhan-kebutuhan khususnya. Yesus mengatakan bahwa Allah Bapa kita mengasihi kita tidak kurang dalam hal kebutuhan-kebutuhan kita yang khusus dan kelemahan-kelemahan kita – dan sesungguhnya jauh lebih daripada kita mengasihi anak-anak kita sendiri: “Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Mat 7:11).
Yesus menerima kedosaan kita sebagai suatu kenyataan. Ia akan berurusan dengan kita dengan cara sama seperti ketika dia berurusan dengan seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berzinah. Yesus tidak mengatakan kepada perempuan itu, “Sesungguhnya engkau tidak berdosa.” Yang dikatakan Yesus adalah: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi” (Yoh 8:11).
Walaupun kita masih bergelimang dalam dosa, Yesus berulang-ulang kali memproklamasikan bahwa Bapa-Nya mengasihi kita semua. Sulit bagi kita menerima kedua kebenaran ini pada waktu bersamaan: Kita adalah para pendosa, namun Allah Bapa kita mengasihi kita. Akan tetapi memang inilah perwahyuan yang dibawa oleh Yesus ke tengah-tengah dunia, suatu perwahyuan yang dikonfirmasi oleh Yesus dengan darah-Nya sendiri, seperti dengan tepatnya ditulis oleh Santo Paulus: “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm 5:8).
Yesus mengatakan kepada kita bahwa Allah itu seperti sang bapa dari anak yang hilang. Bapa itu memberikan pengampunan jauh lebih banyak dari yang dimohonkan anaknya. Sang bapa tidak memperkenankan anaknya tenggelam dalam perasaan bersalah karena telah berdosa melawan surga dan bapanya, melainkan dia menyuruh para pekerjanya untuk menyiapkan pesta perjamuan dalam suasana gembira. Sesungguhnya, apabila kita masuk ke hadapan hadirat Bapa surgawi dengan pertobatan, maka kita tidak perlu merasa bersalah.
Jadi, pendekatan kita kepada Bapa surgawi dalam doa seharusnya sebagai anak-anak dengan Bapa mereka. Sebagai anak-anak pula kita menerima cintakasih-Nya bagi kita dan bercakap-cakap dengan-Nya sebagai Bapa. Sebagai anak-anak pula kita menerima pengampunan-Nya dan bergembira bersama dengan Dia dalam kehadiran-Nya.
Saya menganjurkan anda untuk membaca Mzm 139 sebagai doa anda ketika berhadapan dengan Allah Bapa yang maha tahu.
Catatan Penutup
Dalam suratnya yang pertama, Santo Yohanes menulis: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah” (1Yoh 3:1). Tujuan hidup kita adalah mengkontemplasikan Allah di mana-mana, karena di sanalah Ia berada. Kita harus menanggapi kasih yang mentransformasikan dari Allah dengan menghayati suatu kehidupan yang dipenuhi dengan cintakasih kepada Allah yang melibatkan pengorbanan-diri. Kita menginginkan agar setiap pemikiran, kata dan perbuatan kita dipenuhi dengan cintakasih kita sebagai balasan terhadap kasih Allah. Kita juga harus senantiasa mempunyai hasrat untuk memuji-muji dan memuliakan Allah lewat kesaksian hidup kita.
Sebagai akhir kata marilah saya kutip Santo Paulus lagi: “Di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula melalui Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah anugerah-Nya, yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian” (Ef 1:4-8).
jojo

KUASA ROH KUDUS DALAM GEREJA PERDANA

KUASA ROH KUDUS DALAM GEREJA PERDANA


Sepanjang “Kisah para Rasul”, pesan terus-menerus yang dapat disimpulkan adalah sangat sederhana: Manakala Roh Kudus turun, maka hidup orang pun diubah. Kita lihat ini dalam hal para rasul, yang bersama-sama dengan Bunda Maria berkumpul dalam ruang atas pada hari Pentakosta. Kita lihat hal yang sama terjadi di kota-kota Samaria, Antiokhia dan Efesus. Bahkan kita melihat itu dalam diri orang-orang yang jauh dari Kristus seperti Saulus dari Tarsus, yang menganiaya gereja. Dalam semua peristiwa ini – dan di banyak peristiwa lain – kita lihat Roh Kudus yang datang dengan kuasa dan menyalakan api yang menyapu dunia pada waktu itu. Dalam tulisan singkat ini kita ingin melihat apa yang dilakukan oleh Roh Kudus untuk mengubah orang-orang biasa menjadi orang-orang yang penuh sukacita, para pengikut Yesus yang penuh komitmen dan pewarta-pewarta Kabar Baik yang tak kenal takut.
Kuasa dari Pernyataan Kasih Allah. Santo Yohanes mengatakan kepada kita bahwa, pada perjamuan terakhir Yesus berjanji pada para murid-Nya, “Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan tinggal bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23). Beberapa tahun kemudian, ketika merenungkan pengalamannya akan janji ini, Santo Paulus menulis, “… kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rm 5:5). Janji Yesus telah dipenuhi! Roh Kudus telah dicurahkan dan pencurahan itu telah memberikan kepada orang-orang Kristiani awal suatu kesadaran penuh kegembiraan yang meluap-luap akan kasih Allah.
Allah sungguh mengasihi mereka! Pernyataan kasih Allah ini mengubah seluruh hidup mereka. Tidak lagi sekadar merupakan suatu pernyataan fakta. Tidak hanya sesuatu yang Yesus telah katakan kepada mereka. Pernyataan kasih Allah begitu riil bagi mereka, sampai-sampai membuang rasa bersalah, membebaskan mereka dari rasa takut dan mengatasi dosa mereka. Kasih Allah menghangatkan hati mereka sehingga mampu menerima satu sama lain – bahkan orang-orang non-Yahudi sekali pun, yang tidak pernah dinilai pantas untuk diperhatikan Allah (lihat Kis 11:18). Begitu besar dan agung kasih Allah yang mereka alami, sehingga saling mengasihi antara mereka diwujudkan dalam tindakan nyata selagi mereka berdoa bersama dan mengurusi orang-orang miskin di tengah-tengah mereka (Kis 2:44-47).
Kasih Allah yang dicurahkan oleh Roh Kudus ini, merupakan fondasi dari seluruh pesan Injil. Ini adalah alasan paling mendasar bagi keberadaan gereja, kunci bagi segala pertanyaan teologis dan jawaban bagi setiap krisis yang dihadapi individu-individu dan bangsa-bangsa. Kasih ini bukan sebagai hasil dari kerja keras seseorang, melainkan suatu afeksi dari Bapa surgawi yang tak kunjung lelah, meski dalam situasi kedosaan dan pemberontakan kita. Seperti ditulis oleh Paulus, “… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rm 5:8).
Kisah Para Rasul merupakan sebuah kesaksian tetap tentang fakta bahwa manakala Roh Kudus menyatakan kasih Allah, maka segala aspek kehidupan mengambil suatu perspektif yang baru. Dosa-dosa kita di masa lampau sepenuhnya diampuni. Masa depan kita terjamin. Dan kepada kita diberikan keberanian untuk bekerja melalui hari ini dengan segala keprihatinan dan masalahnya. Karena kita telah mengalami kasih ilahi yang berlimpah, kita “bergembira dengan rasa sukacita yang mulia dan tidak terkatakan” (1 Ptr 1:8), yang meliputi setiap aspek kehidupan kita.
Suatu Hidup Penyerahan Diri. Selagi mereka mengalami berdiamnya Roh dalam diri mereka, para murid dipaksa untuk menyerahkan hidup mereka kepada Yesus dan kepada misi gereja-Nya. Kehidupan batin mereka diubah sampai satu titik di mana mereka memutuskan “untuk tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Kor 5:15). Jadi, tidak cukup hanya mengambil suatu gaya hidup yang baru, yang lebih idealistis. Roh Kudus telah “menyerbu” mereka, sehingga – betapa pun lemah dan berdosa mereka sebelumnya – mereka ingin menyediakan diri secara terpisah bagi Tuhan, mempersembahkan diri mereka sendiri sebagai “kurban persembahan yang hidup” bagi Allah(Rm 12:1).
Santo Paulus menjelaskan penyerahan diri kepada Yesus ini dengan membuat sebuah proklamasi yang masih dapat menyentuh hati kita hari ini: “… bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Hidup yang sekarang aku hidupi secara jasmani adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20).
Bagi Paulus dan semua orang Kristiani awal, Roh Kudus yang meliputi mereka juga meyakinkan mereka untuk berserah diri kepada Yesus setiap hari. Roh Kudus telah menyatakan Yesus kepada mereka, tidak hanya sebagai seseorang yang mengasihi mereka secara mendalam, tetapi juga sebagai Tuhan segala ciptaan, yang memang layak dan pantas ditaati, dikasihi dan disembah. Paulus menggambarkan proses ketaatan itu sebagai berikut: “… apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia …” (Flp 3:7-9).
Paulus, Petrus dan semua murid berusaha untuk membuka setiap aspek hidup mereka bagi Roh Kudus dan memperkenankan kasih yang mereka terima dalam hati mereka untuk memperbaharui pikiran-pikiran mereka, hasrat-hasrat mereka, keputusan-keputusan mereka dan relasi-relasi mereka. Mereka belajar untuk “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (lihat 2 Kor 10:5), dan memperkenankan diri mereka sendiri diubah “oleh pembaruan budi mereka” (lihat Rm 12:2).
Sampai ke Ujung-ujung Bumi. Meski mereka ditangkap (Kis 4:1-4), dianiaya (Kis 5:40) dan diancam pembunuhan (Kis 9:1), orang-orang Kristiani awal terus melanjutkan permakluman bahwa Yesus Kristus disalibkan dan dibangkitkan dari antara orang mati. Sementara mereka terus membuka hidup mereka bagi kuasa Roh Kudus, mereka mengalami suatu hasrat yang membara untuk berbagi Injil dengan orang-orang lain. Tidak lebih dari dua bulan setelah melihat Guru mereka ditangkap dan disalibkan, dengan berani Petrus mengatakan kepada mereka yang bertanggung jawab atas penyaliban Yesus, “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis 2:36).
Demikian pula dengan para murid yang lain. Setelah melihat bagaimana saudara mereka Stefanus mati di tangan tua-tua Yahudi, semua murid yang melarikan diri dari Yerusalem samasekali tidak berpeluk tangan dan tidak melakukan apa-apa. “Mereka yang tersebar itu menjelajahi seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil” (Kis 8:4). Di Samaria, “orang banyak itu mendengar pemberitaan Filipus dan melihat tanda-tanda yang diadakannya, mereka semua memperhatikan dengan sepenuh hati apa yang diberitakannya itu. Karena itu, sangatlah besar sukacita dalam kota itu” (Kis 8:6,8). Kemudian Lukas bercerita kepada kita, “Sementara itu saudara-saudara seiman yang tersebar karena penganiayaan yang timbul sesudah Stefanus, menyingkir sampai ke Fenisia, Siprus dan Antiokhia; namun mereka memberitakan Injil kepada orang Yahudi juga” (Kis 11:19). Karena sekelompok kecil laki-laki dan perempuan, api kebangunan baru menyebar ke seluruh Asia Kecil.
Mengapa para murid mengambil risiko begitu besar, risiko dianiaya dan maut? Sekali lagi Paulus memberi jawabannya: “… kasih Kristus menguasai kami, karena kami telah mengerti bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Kor 5:14-15). Pengalaman akan kasih Allah yang semakin mendalam dengan berjalannya waktu ditambah dengan sikap serta tindakan penyerahan hidup mereka kepada Kristus yang terus berlanjut, memimpin para murid untuk berkeinginan memberitakan kepada setiap orang semampu mungkin mengenai keselamatan yang tersedia bagi mereka dalam Yesus.
Datanglah, Tuhan Yesus! Roh Kudus menyentuh hati para murid dengan begitu mendalamnya sehingga mereka mengalami suatu kerinduan untuk dapat bersama Yesus dan memandang-Nya secara muka-ketemu-muka. Roh Kudus ini, yang adalah “jaminan warisan kita sampai kita memperoleh penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya” (Ef 1:14), memberikan kepada mereka suatu citarasa bagaimana kiranya hidup kekal bersama Yesus kelak, sehingga gereja awal pun berseru, “Amin, datanglah, Tuhan Yesus” (Why 22:20).
Orang-orang Kristiani awal mengerti bahwa hidup dalam dunia ini hanyalah bersifat sementara, dan bahwa rumah mereka yang benar dan akhir adalah dalam surga, bersatu dengan Tuhan. Pada kenyataannya, iman dan harapan akan kedatangan kembali Yesus inilah yang menopang gereja dalam waktu-waktu sulit dan pengejaran serta penganiayaan: “Jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia” (2 Tim 2:12). Apa lagi yang dapat lebih memberikan harapan daripada janji akan hidup kekal dan mulia bersama dengan Dia yang telah mengasihi kita dengan begitu setia?
Orang-orang Biasa Diubah secara Luar Biasa. Sekarang kita mempunyai kesempatan indah untuk membuka hati kita secara lebih penuh lagi bagi kuasa-mengubah dari Roh Kudus. Tujuan-tujuan Allah tidak pernah berubah. Segalanya yang dialami oleh para murid Yesus sekitar 2000 tahun lalu masih tetap tersedia bagi kita hari ini. Sama seperti yang terjadi dengan mereka dulu dapat juga terjadi dengan kita.
Kalau kita ingin mengetahui karya Roh Kudus dalam hidup kita, kita harus memahami bahwa para murid Yesus yang awal bukanlah orang-orang yang luarbiasa. Mereka hanyalah mantan nelayan, mantan pemungut cukai, mantan anggota kaum pejuang zeloti dll. Mereka tidak datang berkumpul, lalu menyusun sebuah rencana untuk mengubah dunia. Mereka adalah orang-orang lemah dan berdosa, seperti kita juga, dan mereka tahu bahwa hanya Roh Kudus yang dapat melakukan pekerjaan yang telah dipercayakan oleh Yesus kepada mereka. Itulah mengapa mereka tidak langsung pergi menginjil ke mana-mana, tetapi mengikuti permintaan Yesus agar mereka tetap berdiam di Yerusalem, berdoa dan menantikan kedatangan Roh Kudus yang dijanjikan itu (lihat Luk 24:49).
Marilah kita mencontoh para murid Yesus dulu, dengan menyediakan waktu ekstra untuk berdoa. Marilah kita merenungkan sabda Allah dan mohon kepada-Nya untuk memenuhi kita lebih lagi dengan Roh Kudus. Marilah kita menantikan pemenuhan janji Yesus: “… kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8).
jojo

BUAH ROH: BEBERAPA CATATAN

SURAT KEPADA PARA PENGUNJUNG BLOG “SANG SABDA” TENTANG MASA PRAPASKAH 2012

jojo, 29 Maret 2012
Saudari dan Saudara yang dikasihi Kristus,
Hal: Masa Prapaskah 2012
Masa Prapaskah adalah suatu masa yang sungguh istimewa bagi kita untuk meninjau kembali dan memeriksa kehidupan yang kita jalani selama ini, dalam terang segala sesuatu yang telah diberikan Yesus kepada kita. Ini adalah masanya bagi kita kita bertanya kepada diri kita masing-masing, “Apakah selama ini aku menjalani kehidupanku sesuai dengan potensi yang kumiliki dalam Kristus? Apakah aku mengalami kemenangan atas area-area dalam hidupku yang tidak Kristiani? Atau, apakah aku kadang-kadang merasa tak berdaya, seakan  aku tak mampu mengatasi bahkan godaan-godaan yang paling kecil sekali pun?
Beberapa hari lagi kita akan memasuki Pekan Suci. Baiklah kita menengok ke belakang sedikit untuk melihat apakah sepanjang perjalanan kita dalam masa Prapaskah 2012 beberapa pekan ini, telah terjadi kemajuan dalam pertumbuhan rohani kita, khususnya dalam hidup pertobatan kita. Sesungguhnya, bacaan-bacaan Injil selama lima pekan terakhir menuntun kita agar berhasil menaklukkan banyak area negatif dari diri kita, “tembok benteng Yerikho” kita (Ingatlah kisah Yosua menaklukkan kota Yerikho dalam Yos 1:1 dsj.). Apakah kita – dalam nama Yesus –  telah berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Mungkin sudah, mungkin juga belum? Kita tidak perlu terlalu cemas karena masih ada waktu satu pekan penuh sebelum kita memulai “Tri Hari Paskah” (triduum) yang agung, di mana kita akan menghidupkan kembali drama penyelamatan kita dalam iman dan liturgi. Tiga hari agung yang dipenuhi dengan simbol-simbol dan tanda-tanda profetis yang secara berlimpah berbicara mengenai kerahiman dan kasih Allah yang mengalir ke dalam hidup kita.
Marilah kita merenungkan kembali bacaan-bacaan Injil Misa hari Minggu selama masa Prapaskah (Tahun B) yang telah kita jalani. Bacaan-bacaan ini mengingatkan kita kepada kisah penaklukan kota Yerikho dan peranan YHWH di dalamnya. Dengan demikian kita pun akan menjadi yakin bahwa dalam Kristus kita mampu untuk memperoleh kemenangan atas sisi-sisi buruk diri kita.
Pada Hari Minggu Prapaskah I (Mrk 1:12-15), Yesus mengundang kita ke padang gurun bersama-Nya selama 40 hari puasa yang mengingatkan kita pada 40 tahun pengembaraan bangsa Israel di padang gurun sebelum memasuki tanah terjanji. Selama masa puasa, pantang/mati raga dan penyangkalan diri ini, Yesus ingin mengajar kita bagaimana menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan berani – dalam Tuhan – seperti bangsa Israel di Yerikho. Ia ingin menunjukkan kepada kita bagaimana segala sesuatu yang bertentangan dengan diri-Nya mati di padang gurun.
Pada Hari Minggu Prapaskah II (Mrk 9:2-10), setelah membawa kita bersama-Nya ke padang gurun, bacaan Injil membawa kita ke sebuah gunung yang tinggi (tradisi mengindentifikasikannya sebagai Gunung Tabor) untuk menyaksikan Transfigurasi Yesus. Dalam suasana yang penuh kemuliaan dan keagungan ini, Yesus ingin meyakinkan kita, bahwa Dia-lah Allah dan Dia ingin mentransformasikan kita selagi kita memandang Dia dalam kemuliaan-Nya.
Pada Hari Minggu Prapaskah III (Yoh 2:13-25), kita melihat Yesus dalam Bait Allah. Di tempat suci itu Dia mengkonfrontir para “pencuri” yang telah mengubah rumah Allah menjadi pasar. Setelah mata kita terbuka untuk melihat kemuliaan-Nya, Yesus ingin membuka mata (hati) kita terhadap para “pencuri” yang senantiasa mencoba untuk menduduki bait suci hati kita (lihat 1Kor 3:16). Dengan mata yang terbuka lebar-lebar seperti ini, Yesus ingin mendesak kita untuk membuang dosa-dosa kita, sebagaimana Dia mengusir para pedagang dan penukar uang ke luar dari Bait Allah.
Pada Hari Minggu Prapaskah IV (Yoh 3:14-21),  kita mendengarkan percakapan antara Yesus dan Nikodemus, ketika Dia berbicara tentang bagaimana orang-orang yang melakukan yang benar “datang kepada terang”, supaya menjadi nyata bahwa perbuatan-perbuatan mereka dilakukan dalam Allah. Seakan Ia mengatakan, bahwa selagi kita memeditasikan kemuliaan-Nya – seperti pada saat Transfigurasi – akan muncul keinginan kuat dalam diri kita untuk mengusir pencuri-pencuri dari bait suci hati kita. Setelah bebas dari pencuri-pencuri itu, kita pun akan mengalami terang-Nya yang bersinar atas diri kita dengan lebih bercahaya lagi, dan kita akan menjadi mercu suar yang memancarkan sinar lebih terang-benderang ke dunia di sekeliling kita.
Pada Hari Minggu Prapaskah V (Yoh 12:20-33), Yesus berbicara mengenai diri-Nya sendiri yang dina itu sebagai sebutir “biji gandum”, yang mati di dalam tanah sehingga Dia dapat “berbuah banyak”. Ia meyakinkan kita bahwa setiap kali kita menyangkal diri kita pada masa Prapaskah ini, kita akan menghasilkan lebih banyak buah lagi. Yesus mengatakan, bahwa untuk alasan inilah Ia datang ke tengah dunia – untuk mengalahkan dosa dan membawa kita masuk ke dalam Tanah Terjanji Kerajaan-Nya.
Masa Prapaskah adalah masa di mana kita dapat menyingkirkan sebagian rutinitas harian kita agar dapat melakukan pertobatan dalam bentuk puasa, mati ragi, penyangkalan diri dlsb., agar kita dapat memusatkan pandangan kita pada Yesus dan sekilas memandang kemuliaan-Nya. Masih ada waktu bagi kita untuk mengidentifikasikan “pencuri-pencuri” yang telah berhasil masuk ke dalam pikiran dan hati kita, dan kemudian dengan kuat-kuasa Tuhan Yesus sendiri mengusir itu semua. Semoga lewat puasa dlsb., Ekaristi dan doa-doa, Allah akan mengajar kita untuk hidup dalam Roh-Nya secara lebih penuh lagi. Dia akan menunjukkan kepada kita bagaimana dengan Yesus, bersama Dia dan dalam nama-Nya kita akan mampu menaklukkan “tembok Yerikho” kita. Kita menjadi semakin yakin-percaya pada sabda Yesus: Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Inilah saatnya bagi kita untuk mohon dianugerahi kekuatan dan keberanian seperti Yosua.
Berkat Allah Tritunggal Mahakudus senantiasa menyertai anda sekalian!
Salam persaudaraan,
jojo

SAKRAMEN REKONSILIASI DALAM MASA PRAPASKAH

SAKRAMEN REKONSILIASI DALAM MASA PRAPASKAH
(Bantuan untuk melakukan pemeriksaan batin)

Sudah beberapa pekan lamanya kita menjalani masa Prapaskah. Masa Prapaskah adalah masa yang istimewa bagi kita untuk melakukan pertobatan, khususnya melalui Sakramen Tobat atau Rekonsiliasi. Berikut ini adalah bantuan yang dapat digunakan pada waktu Saudari/Saudara melakukan pemeriksaan batin sebelum menerima Sakramen Rekonsiliasi. Yang dijadikan patokan adalah sabda Allah yang terdapat dalam Kitab Suci.
Pengantar. Allah memanggil kita masing-masing untuk menjadi kuat dan berani sehingga kita dapat mengalami kebebasan yang telah dimenangkan oleh Yesus bagi kita di atas kayu salib. Yesus telah mengalahkan dosa, dan sekarang Ia memanggil kita untuk berdiri teguh dalam iman. Ia memanggil kita untuk percaya bahwa apabila kita berada dekat dengan-Nya dalam ketaatan, maka semua rahmat penebusan bagi kita akan mengalir ke dalam hati kita seperti arus sungai yang deras.
Itulah sebabnya, mengapa Sakramen Rekonsiliasi begitu penting. Setiap kali kita berpaling kepada Allah dan mengakui dosa-dosa kita, Dia akan akan membasuh seluruh diri kita sehingga benar-benar bersih, dengan demikian kita dapat terus melangkah maju menuju “Tanah Terjanji” yang telah diberikan-Nya kepada kita.
Pokok-pokok pemeriksaan batin di bawah ini – walaupun tidak lengkap – dimaksudkan untuk membantu kita semua mengidentifikasikan area-area dalam kehidupan kita yang memerlukan perbaikan.
Dalam suasana doa, baiklah anda mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dan mohonlah kepada Roh Kudus untuk menunjukkan di mana anda membutuhkan pertobatan. Sementara anda melakukannya, sadarilah bahwa Allah sungguh senang mengampuni kita semua dan senantiasa memberdayakan kita agar pada akhirnya dapat memperoleh warisan yang telah dijanjikan-Nya.
Mengasihi Allah (Mrk 12:28-30; bdk. Mat 22:35-37; Luk 10:25-28; Yoh 14:23-24). Apakah aku selalu mengarahkan hatiku kepada Allah? Dengan cara-cara apa aku memandang Allah sebagai yang pertama dan utama, di atas segala yang lain? Apakah ada area-area dalam kehidupanku di mana aku perlu mencari kehendak-Nya bagi diriku, bahkan ketika panggilan itu sulit? Apakah aku menyediakan waktu yang cukup sehari-harinya agar dapat bersama-Nya dalam doa? Apakah aku memandang Gereja-Nya dan hukum-hukum-Nya dengan penuh hormat dan rasa syukur?
Mengasihi sesama (Luk 10:25-37; Yoh 13:12-15). Dapatkah aku mengingat situasi-situasi di mana aku gagal memperhatikan orang-orang yang telah ditempatkan Tuhan dalam hidupku? Apakah ada saat-saat di mana aku lambat menempatkan kebutuhan mereka sebelum kebutuhanku sendiri? Dapatkah aku mengingat situasi-situasi di mana aku gagal memperlakukan seseorang dengan penuh hormat sesuai dengan martabatnya sebagai seorang anak Allah?
Belas kasih (Mat 18:21-35; Yoh 8:1-11). Apakah ada situasi-situasi di mana aku merasa sulit untuk mengampuni seseorang yang telah menyakiti hatiku? Apakah ada kelompok-kelompok orang yang dengan cepat telah aku hakimi berdasarkan status sosial mereka, ras mereka, atau penampilan mereka? Apakah ada situasi-situasi di mana aku merasa enggan untuk menerima belas kasih Allah, sehingga dengan demikian merasa sulit untuk berbelas kasih kepada orang-orang lain?
Kerendahan hati (Mrk 10:13-16; bdk. Mat 19:13-15; Luk 18:15-17; Flp 2:5-11). Seringkah aku mengingat bahwa berbagai talenta dan anugerahku berasal dari Allah, murni pemberian-Nya? Apakah aku selama ini memperlakukan orang-orang yang biasa kujumpai sebagai anak-anak Allah, tanpa peduli akan status atau posisi mereka dalam kehidupan masyarakat? Sampai berapa jauh aku tergantung pada Allah dan rahmat serta kuasa-Nya dalam menjalani hidupku sehari-hari?
Kemurahan hati (Mrk 6:30-34; Luk 6:38). Mudahkah bagiku untuk syering waktuku dan talenta serta anugerah yang kumiliki dengan orang-orang lain? Apakah aku cukup bermurah-hati ketika tiba saatnya untuk membantu/mendukung organisasi-organisasi karitatif yang melayani orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan, dan “wong cilik” pada umumnya?
Keberanian (Mat 23:37-39). Dapatkah aku mengingat situasi-situasi di mana aku harus mengatakan kebenaran dalam kasih, namun aku tidak melakukannya (karena menjaga popularitas dlsb.)? Apakah aku melakukan segalanya yang harus kulakukan untuk berdiri tegak melawan ketidakadilan dan melindungi orang-orang miskin, orang-orang yang tidak dapat melawan, misalnya dalam hal aborsi, KDRT dlsb.? Apakah ada situasi-situasi akhir-akhir ini di mana aku gagal bertekun melalui kesulitan hidup yang sedang kuhadapi?
Selamat berjuang di jalan salib Kristus!
jojo, 20 Maret 2012 

PEREMPUAN DAN IBU KRISTIANI

PEREMPUAN DAN IBU KRISTIANI
Catatan: Tulisan ini adalah sebagian dari tulisan berjudul “IBU BAGI ANAKKU”, yaitu mengenai kaum ibu, dalam rangka merayakan “Hari Ibu” tanggal 22 Desember 2011 lalu. Pada “Hari Wanita” tanggal 8 Maret ini, baiklah saya masukkan (posting) bagian berikut ini sebagai sebuah “post” dalam situs/blogs SANG SABDA dan PAX ET BONUM.
Kaum ibu atau kaum perempuan Kristiani  pada umumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kaum ibu/perempuan Indonesia secara keseluruhan. Keprihatinan para ibu/perempuan Indonesia tentunya harus merupakan keprihatinan para ibu/perempuan Kristiani – yang mempunyai iman kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Para ibu/perempuan Kristiani tentu dapat meneladan para ibu/perempuan yang ada dalam Kitab Suci maupun sejarah Gereja.
Walaupun sikap dan perilaku Nyonya Zebedeus seperti digambarkan dalam Injil Matius (Mat 20:20-21) tidak boleh dicontoh, banyak sekali yang dapat diteladani dari para ibu/perempuan yang namanya tertera dalam Kitab Suci, teristimewa Bunda Maria. Misalnya, daripada kita membuang banyak waktu menerka-nerka di mana gerangan Yesus ketika Ia “menghilang” dari Injil (sejak diketemukan di Bait Suci pada usia 12 tahun (lihat Luk 2:41-51) sampai “muncul” kembali ketika sudah dewasa (lihat Mrk 1:9), lebih pantaslah bila kita membayangkan bagaimana Bunda Maria melaksanakan fungsi keibuannya dengan baik atas diri Yesus sampai diri-Nya terbentuk menjadi seorang manusia dewasa yang baik (tentunya tanpa mengabaikan peranan Santo Yosef juga). Dalam ruang tulisan yang sangat terbatas ini saya akan mengedepankan beberapa ibu/perempuan kudus dalam sejarah Gereja sebagai tokoh-tokoh ibu yang patut diteladani.

 
Santa Monika [331-387] – seorang ibu yang sangat mengasihi suami dan anaknya. Perempuan suci ini adalah ibunda dari Santo Augustinus dari Hippo [354-430], salah seorang Pujangga Gereja dan juga salah seorang Bapak Gereja Latin. Ia lahir di Thagaste (Afrika) dan meninggal di Ostia (Italia). Ia dihormati sebagai pelindung para ibu rumah tangga. Dengan hati yang pedih karena dicemooh dan ditertawakan oleh suaminya sendiri – Patrisius – yang kafir, Monika dengan tekun berdoa untuk suaminya itu agar bertobat. Secara berkesinambungan ibu ini mendoakan dengan intens puteranya yang bernama Augustinus agar menjadi pemuda Kristiani yang baik. Augustinus mengikuti kaum bid’ah Manikeisme. Augustinus juga berkawan dengan orang-orang yang tidak bermoral dan hidup berfoya-foya. Segala nasihat ibunya tidak digubris. Monika tidak pernah berputus asa. Dia menggunakan segala peluang yang ada untuk berdoa agar Allah yang Mahabaik melindungi dan membimbing suami dan puteranya, Augustinus ke jalan yang benar. Setelah bertahun-tahun lamanya hal ini berlangsung, doa-doanya pun memperoleh jawaban. Beberapa saat sebelum meninggal dunia, Patrisius bertobat dan mohon dibaptis. Beberapa tahun kemudian, Augustinus dibaptis oleh Uskup Milano pada waktu itu, Santo Ambrosius [c.334-397], salah seorang Bapak Gereja di Gereja Barat (Latin) dan juga salah seorang Pujangga Gereja. Dari tulisan Augustinus sendiri kita mengetahui, bahwa bagi Monika saat itulah yang merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya.  Monika memang seorang ibu dan seorang istri yang luarbiasa. Seorang pendoa yang tekun dan tentunya pribadi yang suci. Dia sadar bahwa dia tidak hidup sendiri di dalam dunia ini, dan kesuciannya bukanlah untuk dirinya sendiri. Kasih persaudaraan yang berasal dari Allah sendiri ada dalam dirinya dan dilakukannya dengan sungguh-sungguh, sehingga dengan demikian menyebar ke luar dirinya dengan sangat efektif.
Ortolana di Offreduccio – seorang ibu suci yang menularkan kesucian kepada anak-anaknya. Tanggal 5 Januari didedikasikan oleh Keluarga besar Fransiskan, teristimewa Ordo II-nya kepada Hamba Allah Ortolana di Offreduccio, Ibunda Santa Klara dari Assisi [1195-1253], pendiri Ordo Suster-suster Klaris (Ordo II S. Fransiskus dari Assisi). Hortulana atau Ortolana berasal dari keluarga bangsawan, dan sejak masa mudanya dia sudah menjalani kehidupan saleh. Kesenangan istimewa dari Ortolana adalah melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci. Dengan seorang anggota keluarganya yang juga saleh, Ortolana pernah melakukan perjalanan ziarah ke Tanah Suci. Seringkali dia mengunjungi makam para rasul di Roma dan tempat-tempat lainnya.
Atas dasar keinginan par orangtuanya, Ortolana menikah dengan Favarone di Offreduccio, seorang keturunan salah satu keluarga bangsawan terkemuka di Assisi. Kehidupannya sekarang di Assisi samasekali tidak menghalanginya untuk melanjutkan suatu kehidupan “takut akan Allah”. Ketika tiba saatnya bagi Ortolana melahirkan anaknya yang pertama, dia berdoa dengan khusyuk di depan sebuah salib agar anaknya ini dapat lahir dengan selamat. Lalu dia mendengar suara yang berbicara kepadanya: “Jangan takut, engkau akan melahirkan suatu terang yang akan menerangi dunia dengan pancaran cahayanya.” Beberapa saat kemudian Ortolana melahirkan seorang bayi perempuan yang diberinya nama Chiara (Klara), artinya “yang memancarkan cahaya”. Ortolana memelihara dan membesarkan anak-anaknya (semuanya perempuan) dengan penuh pengabdian. Mereka semua kelak menjadi perempuan-perempuan dewasa yang suci hidupnya. Ketika Klara “kabur” untuk bergabung dengan Fransiskus, Ortolana dengan penuh risiko berpihak pada anak perempuannya itu, walaupun pihak keluarga suaminya tidak setuju dengan kaburnya Klara tersebut dan berupaya keras untuk mengembalikan Klara.
Ya, pada waktu Klara sudah menjadi perempuan dewasa, dia mendirikan sebuah ordo biarawati – di bawah arahan S. Fransiskus dari Assisi – dan dia beserta para pengikutnya hidup dalam semangat kemiskinan radikal yang menolak segala kenikmatan duniawi, di dalam sebuah biara yang miskin juga di dekat kota Assisi. Dua orang saudari dari Klara – Agnes [juga seorang Santa] dan Beatrice, mengikuti jejak sang kakak dan masuk ke dalam biara yang sama. Setelah kematian suaminya, Ortolana juga bergabung dengan para Suster Klaris. Hanya ada seorang puterinya yang menikah, yaitu Penenda yang melahirkan tiga orang anak perempuan. Ketiga anak perempuannya (cucu-cucu Ortolana) juga kemudian bergabung masuk biara para suster Klaris. Bukan main Ortolana ini dalam bidang pendidikan rohani anak-anaknya (dan sampai titik tertentu juga cucu-cucunya). Dulu Ortolana mendidik anak-anaknya, namun sekarang dalam biara, Ortolana berada di bawah bimbingan seorang anaknya, Klara. Sungguh suatu fenomena yang luarbiasa! Tujuh biarawati kontemplatif berasal dari satu keluarga bangsawan-kaya yang memilih “jalan perendahan” Kristus sesuai teladan dari Bapak pendiri Ordo, yaitu Santo Fransiskus dari Assisi. Dalam biara, Ortolana menjalani suatu contoh kehidupan suci, sehingga tidak mengherankanlah apabila Ortolana dimuliakan Allah dengan banyak mukjizat dan tanda heran, baik ketika masih hidup maupun setelah kematiannya.


 

Santa Elisabet dari Hungaria [1207-1231] – seorang ibu yang melihat Yesus dalam diri wong cilik. Elisabet adalah salah seorang dari dua orang kudus pelindung Ordo Ketiga sekular Santo Fransiskus. Kalau Santo Ludovikus (Louis) IX [1214-1270] adalah seorang raja, maka Santa Elisabet adalah seorang puteri raja dan istri seorang pangeran. Dalam hidupnya yang relatif pendek, Elisabet mewujudkan cintakasihnya yang besar kepada orang-orang miskin dan menderita, sehingga oleh Paus Leo XIII [1878-1903] dia dijadikan orang kudus pelindung bagi karya amal Gereja Katolik yang dilakukan oleh para perempuan. Sebagai seorang puteri raja, Elisabet memilih hidup pertobatan dan asketisme, meskipun sebenarnya dengan mudah dia dapat menikmati kehidupan santai dan mewah. Pilihan hidupnya ini membuat Santa Elisabet dicintai oleh rakyat biasa di seluruh Eropa.
Ayah Elisabet adalah Raja Andreas II dari Hungaria dan ibunya adalah Gertrude dari Andechs-Meran. Dalam rangka aliansi politik, sejak kecil Elisabet sudah direncanakan untuk dikawinkan dengan Ludwig, putera tertua Pangeran Herman dari Thuringia dan Hesse (sekarang di negeri Jerman). Pada waktu berumur 4 (empat) tahun, Elisabet sudah dibawa ke kastil Wartburg dekat Eisenach guna dipersiapkan sebagai istri Pangeran Ludwig kelak. Pada masa remajanya Elisabet dikatakan memiliki tubuh yang sempurna, menarik; cara-caranya menampilkan diri serius tapi sederhana; tutur katanya halus; tekun dalam doa dan  selalu dipenuhi kebaikan dan cintakasih ilahi. Namun demikian, Elisabet tidak diterima oleh saudara-saudari Ludwig. Pembawaan Elisabet yang rendah hati dan tidak mau menonjol mengganggu seorang saudari Ludwig yang bernama Agnes, yang mengatakan bahwa Elisabet hanya pantas menjadi seorang pelayan rumah tangga. Cemoohan dari Agnes menular kepada gadis-gadis lain dalam istana yang sering mengejek dan menghina Elisabet secara terbuka. Demikian pula dengan para pegawai istana yang secara terbuka mengatakan bahwa Elisabet sedikit pun tidak menyerupai seorang puteri raja.
Menjelang usia perkawinannya, kehidupan doa Elisabet mengakibatkan bertambahnya penghinaan dan penderitaan atas dirinya. Segenap warga istana menolak perkawinannya dengan Ludwig. Sophia, ibu Ludwig, malah mencoba membujuk agar Elisabet mau masuk biara saja. Sophia menghendaki agar puteranya menikahi seorang puteri bangsawan, kaya, memiliki banyak koneksi dan membawakan diri sungguh-sungguh seperti seorang puteri raja. Meskipun semua menolak Elisabet, tidak demikian halnya dengan Ludwig sendiri.
Pada waktu Pangeran Herman wafat, Ludwig baru berusia 16 tahun. Lima tahun kemudian Ludwig mengumumkan untuk mengawini Elisabet. Setelah genap berusia 21 tahun dan Elisabet 14 tahun, menikahlah mereka. Misa Kudus perkawinan dihadiri oleh banyak orang dari kalangan bangsawan. Perayaan pesta perkawinan berlangsung selama tiga hari dengan beraneka macam acara.
Selama hidupnya sebagai suami Elisabet dan menerima banyak kritikan, Ludwig tetap membela dan menyetujui karya karitatif Elisabet dan juga hidup kerohaniannya. Malah cintanya kepada Elisabet kian bertumbuh hari demi hari. Dua insan itu menjadi suami-istri yang sungguh ideal dan dianugerahi tiga orang anak. Putera sulung yang bernama Herman lahir di tahun 1222 dan meninggal pada waktu berusia 19 tahun. Yang kedua bernama Sophia, menjadi Tuan Puteri (Duchess) Brabant, meninggal dunia pada waktu berusia 60 tahun. Yang ketiga adalah Gertrude yang menjadi Abes di Biara Altenburg dan kini dihormati dalam Gereja Katolik sebagai seorang beata.
Pada tahun 1221 di dekat Gerejanya, di kota Eisenach, Elisabet mendirikan sebuah biara yang diperuntukkan bagi para Saudara Dina (Ordo I Fransiskan). Dalam kontaknya dengan para Fransiskan inilah Elisabet mendengar tentang Fransiskus dari Assisi yang pada waktu itu masih hidup. Dia juga mendengar tentang keberadaan Ordo Ketiga, sebuah organisasi untuk kaum awam yang pada waktu itu sudah merebak ke mana-mana, baik di Italia maupun di luar Italia. Elisabet melihat manfaatnya bagi seorang Kristiani menjadi Ordo Ketiga itu. Kemudian dengan rendah hati dia mohon izin dari Ludwig untuk menjadi anggota Ordo Ketiga. Dikatakan oleh para penulis bahwa Elisabet merupakan orang pertama yang menjadi anggota Ordo Ketiga di Jerman. Fransiskus sempat juga mendengar tentang keanggotaan Elisabet di dalam Ordo Ketiga, dan Fransiskus berbicara baik tentang dia.
Seperti telah dikatakan di atas, Ludwig tidak pernah menghalang-halangi karya karitatif istrinya, kehidupannya yang sederhana maupun kehidupan rohaninya yang dipenuhi jam-jam doa yang panjang. Pada tahun 1225 tanah Jerman dilanda kelaparan. Elisabet, lewat karya karitatifnya hampir menghabiskan persediaan bahan makanan yang ada dalam rumah-tangga istana selagi suaminya berpergian ke tempat lain, semuanya demi orang-orang miskin. Para pejabat rumah-tangga kerajaan mengeluh kepada Pangeran Ludwig mengenai kemurahan hati Elisabet kepada orang-orang miskin ini. Beginilah tanggapan Ludwig: “Untuk karya karitatifnya, semua itu akan membawa kepada kita suatu berkat ilahi. Kita tidak akan berkekurangan selama kita memperkenankan dia menolong orang-orang miskin seperti yang dilakukannya.”
Ada cerita yang Saudara-saudari mungkin pernah dengar tentang Santa Elisabet ini. Pada suatu hari Elisabet sedang bergegas untuk melaksanakan karya karitatifnya. Ludwig mendekati dia dan menanyakan apa yang disembunyikan di balik rok kerjanya. Elisabet membuka rok kerjanya, maka terlihatalah bunga-bunga mawar yang indah, padahal yang dibawanya tadi adalah roti. Sungguh sebuah keajaiban.
Karena kastil Wartburg dibangun di atas batu karang yang terjal, maka orang-orang cacat dan lemah tidak mampu mencapainya. Bagi orang-orang kecil dan susah inilah Elisabet mendirikan sebuah rumah sakit di kaki bukit karang itu. Di sanalah dia sering memberi makan orang miskin dengan tangannya sendiri; membersihkan serta merapihkan tempat tidur mereka dan menemani mereka di musim panas yang tidak nyaman. Elisabet mendirikan sebuah rumah sakit lagi yang dapat menampung 28 orang. Dia juga memberi makan 900 orang di pintu gerbang istananya, disamping tak terhitung jumlahnya yang tersebar di berbagai tempat lain di negerinya. Karya amal-kasih Elisabet juga tidak sembarangan dapat dikatakan penghamburan atau pemborosan, karena Elisabet tidak akan mentolerir terjadinya pengangguran di kalangan orang miskin yang masih dapat bekerja. Dia akan memperkerjakan mereka pada tugas-tugas yang cocok dengan kekuatan mereka masing-masing.
Pangeran Ludwig dari Thuringia ikut Perang Salib Kelima. Pada Hari Raya Santo Yohanes Pembaptis di tahun 1227 dia berpisah dengan Elisabet dan bergabung dengan Kaisar Frederick II di Apulia. Pada tanggal 11 September tahun yang sama, Ludwig wafat karena terserang wabah sampar di Otranto. Kabar mengenai kematian Ludwig baru sampai ke Jerman di bulan Oktober, pada saat Elisabet baru saja melahirkan anaknya yang ketiga (Gertrude; puterinya yang kedua). Berita kematian Ludwig sungguh mengejutkan Elisabet. Setelah itu kehidupan Elisabet dan ketiga anaknya merupakan kisah yang penuh penderitaan tanpa henti. Dihina, dinista,  difitnah oleh keluarga sang suami, kemudian mereka diusir (dengan dua orang pelayan juga) dari istana, pada musim dingin yang luar biasa membeku. Di kota Eisenach yang sering menikmat karya amal-kasih dari Elisabet sudah ada pengumuman yang dibuat oleh Henry Raspe (iparnya) yang mengatakan bahwa barangsiapa membantu Elisabet dan anak-anaknya akan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Semua penduduk Eisenach mentaati perintah itu, kecuali seorang pemilik kedai minuman yang menyediakan pondok sederhana tempat dia biasa menyimpan alat-alat dapur dan babi-babinya.
Diceritakan bahwa pada situasi sangat sulit seperti itu, Elisabet pernah berdoa seperti berikut ini: “Ya Tuhan, terjadilah kehendak-Mu. Kemarin saya adalah seorang puteri bangsawan dengan kastil-kastil yang kuat-kokoh dan daerah kekuasaan yang kaya, sekarang saya seorang pengemis dan tidak seorang pun memberikan kepadaku asilum.”  Elisabet dan keluarganya sungguh jatuh ke dalam kemiskinan yang mutlak. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil menangis sambil menggigil karena kedinginan dan kelaparan. Dia yang pernah memberi makan kepada ribuan orang sekarang harus mengemis-ngemis makanan bagi anak-anak dan pelayannya. Elisabet menumpang pada bibinya, yaitu Matilda, Abes dari biara di Kitzingen. Lalu dia mengunjungi pamannya, Uskup Eckembert dari Bamberg, yang meminjamkan kastilnya di Pottenstein kepada Elisabet. Setelah menitipkan puterinya (Sophia) kepada para biarawati di Kitzingen, Elisabet membawa Herman dan sang bayi (Gertrude) ke kastil pamannya. Uskup Eckembert menganjurkan agar Elisabet kawin lagi, tetapi dia menolak dan mengatakan bahwa dirinya dan Ludwig sudah saling berjanji untuk tidak menikah lagi.
Pada  awal tahun 1228 kerangka jenazah Ludwig dibawa pulang dan dikuburkan di Gereja Reinhardsbrunn yang memang dipilih oleh Ludwig sebagai tempat makamnya. Atas dorongan para bangsawan diadakanlah rekonsiliasi antara keluarga Ludwig dengan Elisabet. Henry, sang ipar, mohon ampun kepada Elisabet yang kemudian memang mengampuni iparnya itu sambil memeluknya. Hubungan keluarga dan tentunya keadaan keuangan yang agak membaik tidak membuat Elisabet lepas dari salib yang harus dipanggulnya. Kali ini adalah gosip-gosip bahwa Elisabet ‘ada main’ dengan Pembimbing Rohaninya, yaitu Magister Konrad (seorang Fransiskan).
Elisabet hidup secara sangat sederhana dan terus bekerja menolong kaum miskin. Dalam keadaan sakit pun dia masih mencoba untuk melakukan pekerjaan seperti merajut. Setelah hanya diam dua tahun lamanya di Marburg kesehatan Elisabet menurun secara drastis. Dia bertemu dengan Saudari Maut (badani) pada malam hari tanggal 17 November 1231 pada usia menjelang 24 tahun. Untuk tiga hari lamanya jenazah Elisabet disemayamkan di kapel rumah penampungan tempat dia berkarya. Di sana dia dimakamkan dan banyak mukjizat terjadi lewat syafaatnya. Magister Konrad mulai mengumpulkan  bahan-bahan untuk pertimbangan kanonisasi Elisabet, namun tak sempat menyaksikan kanonisasinya karena dia pun kemudian berjumpa dengan Saudari Maut (badani).


 

Santa Elisabet dari Portugal [1271-1336] – seorang ibu pembawa damai. Ketika Elisabet atau “Isabel” dilahirkan, ayahnya yang bernama Pedro III berdamai dengan raja Yakobus dari Aragon, kakek dari Elisabet. Kelak Pedro III menggantikan ayahnya itu sebagai raja Aragon. Peristiwa ini kelihatannya membawa dampak baik atas diri Elisabet. Suasana damai di masa kanak-kanaknya memungkinkan dia mempelajari disiplin diri dan menekuni spiritualitas. Ia pun siap menghadapi pelbagai tantangan hidup ketika pada usia 12 tahun dia dinikahkan dengan Denis, raja Portugal. Setelah nikah, kehidupan spiritual Elisabet tidak menyusut: setiap hari dia mengikuti Misa Kudus, sering menolong para peziarah, orang-orang sakit, orang-orang miskin – pokoknya siapa saja yang perlu ditolong. Meskipun waktunya banyak digunakan untuk membantu kesana kemari, Elisabet adalah seorang isteri yang baik. Pengabdiannya kepada raja Denis sangat terpuji, meskipun masyarakat mengetahui, bahwa sang suami berselingkuh dengan perempuan lain.
Elisabet tak henti-hentinya berdoa agar suaminya berdamai dengan Allah. Doa-doanya terkabul, Denis pun pada akhirnya bertobat dan meninggalkan hidup dosa. Elisabet juga tanpa henti-henti mengupayakan dengan penuh kasih perdamaian antara Denis dan puteranya yang bernama Alfonso, yang menuduh ayahnya lebih menyayangi anak-anak hasil perselingkuhannya dengan perempuan lain. Ratu juga mengupayakan perdamaian antara Ferdinand, raja Aragon dan sepupunya Yakobus yang mengklaim mahkota kerajaan (Aragon).
Setelah kematian suaminya Elisabet pergi ke Coimbra. Di sana dia menggabungkan diri dengan ordo ketiga Santo Fransiskus dan mengundurkan diri ke sebuah biara Suster-suster Klaris di sana. Antara puteranya Alfonso yang sekarang raja Portugal dan menantunya yang raja Castile terus-menerus terjadi konflik. Elisabet kemudian berangkat lagi untuk misi perdamaiannya, yang ternyata merupakan misinya yang terakhir. Kesehatan Elisabet pada waktu itu jauh dari baik, di tambah dengan musim kemarau yang panas terik. Tekad Elisabet singkat-jelas: menghindari kehancuran akibat perang dan penderitaan rakyat lebih penting daripada hidup dan kesehatan pribadinya. Akhirnya Elisabet memang berhasil mendamaikan dua pihak yang bersengketa dan perdamaian pun tercapai. Namun pada waktu itu kesehatannya sudah begitu rapuh dan kematian pun tidak dapat dihindarkan lagi. Setelah kematiannya pada tahun 1336, jenazah Elisabet dikuburkan di biara Coimbra.
Menjadi seorang pembawa damai – seperti Santo Fransiskus – banyak tuntutannya, teristimewa harus memiliki kasih-Nya dalam diri kita. Seorang pembawa damai harus memiliki pemikiran yang jernih, semangat yang mantap (tidak seperti air soda) dan jiwa pemberani, karena dia harus melakukan intervensi antara dua pihak yang sedang beremosi tinggi dan siap untuk saling menghancurkan, apalagi ketika pihak yang satu adalah anaknya sendiri dan pihak satunya lagi adalah menantunya. Allah menganugerahkan karunia-karunia yang diperlukan kepada perempuan abad ke 14 ini. Elisabet memiliki kasih yang mendalam dan tulus, simpati serta empati terhadap sesama, penuh kepercayaan kepada Allah tanpa banyak memikirkan diri sendiri.
jojo, 8 Desember 2011 [Hari Raya SP Maria Dikandung Tanpa Dosa] – Revisi: tanggal 8 Maret 2012

SELAMAT MENJALANI MASA PRAPASKAH TAHUN 2012

Cilandak, Hari Rabu Abu, 22 Februari 2012 
Saudari dan Saudari yang dikasihi Kristus, 
Perihal: Selamat menjalani Masa Prapaskah Tahun 2012 
(Bacaan Pertama: Yl 2:12-18; Bacaan Kedua: 2Kor 5:20-6:2) 

“Tiuplah sangkakala di Sion, adakanlah puasa yang kudus, maklumkanlah perkumpulan raya; kumpulkanlah bangsa ini, kuduskanlah jemaah …”
(Yl 2:15-16). “Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu” (2Kor 6:2). Dengan ini mulailah kita dengan masa Prapaskah tahun ini. Hari ini, Hari Rabu Abu, adalah awal dari masa Prapaskah. Sekali lagi kita mendengar Allah berseru, “Berbaliklah kepada-Ku …… dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh” (Yl 2:12). Kita tahu bahwa Masa Prapaskah adalah suatu masa puasa dan pertobatan, namun apakah yang pertama-tama dihasrati oleh Allah? “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu …… Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu …” (Yl 2:12,13).
Allah memanggil kita untuk mengoyakkan hati kita – untuk membelahnya sehingga terbuka, bukannya dengan mencoba mengubah hati kita dengan cara kita sendiri. Memang kita melakukan pertobatan secara istimewa dalam masa Prapaskah ini, dan pertobatan juga menyangkut perubahan. Namun demikian tujuannya bukanlah untuk membuat diri kita tanpa-salah. Siapa yang sanggup melakukan hal seperti itu? Dalam kenyataannya, Yesus mengatakan kepada kita untuk tidak mempertunjukkan tindakan pertobatan kita (lihat Mat 6:1). Allah ingin melihat kita membuat hati kita menjadi lahan subur bagi Roh Kudus, sehingga Dia sungguh dapat mentransformasikan kita secara supernatural, “yang tersembunyi”.
Bagaimana hal ini terjadi? Pada waktu kita memberi sedekah, berdoa dan berpuasa, kita dapat mengundang Roh Kudus untuk berdiam dalam hati kita. Praktek-praktek tradisional ini yang menggunakan hati untuk fokus pada kasih Bapa surgawi dan bukan pengorbanan-pengorbanan kita sendiri akan memperkenankan Roh Kudus untuk bekerja dalam diri kita. Roh Kudus inilah yang akan membuat kita menjadi semakin akrab dengan Yesus dan lebih berbelarasa terhadap orang-orang lain. Sebagai akibatnya, kita pun mulai berpikir dan bertindak seperti Yesus. Ingatlah himbauan Santo Paulus kepada jemaat di Filipi (Flp 2:5 dsj.). Roh Kudus berkeinginan untuk membuat kita memiliki keyakinan akan kasih Allah. Ia ingin membuat kita berbelas kasih terhadap orang-orang yang membutuhkan belas kasih; dengan gigih melawan dosa, baik dalam diri kita sendiri maupun di dunia sekeliling kita; terbuka bagi mukjizat. Dan semua ini dimulai ketika kita sungguh-sungguh mengoyakkan hati kita, membuka lahan agar Roh Kudus dapat menaburkan benih-benih-Nya.
Sekarang, marilah kita memandang masa Prapaskah ini sebagai sebuah masa rahmat yang berlimpah-limpah. Dalam keheningan hati kita, marilah kita memegang janji Yesus yang diberikan-Nya kepada kita sebanyak tiga kali: “Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:4,6,18).
Roh Kudus Allah, kami menyambut kedatangan-Mu pada masa Prapaskah ini. Kami ingin mengoyakkan hati kami masing-masing, agar Engkau mempunyai ruang untuk bekerja dalam diri kami. Amin.
Saudari dan Saudaraku, Selamat menjalani Masa Prapaskah Tahun 2012 !!! Berkat Allah Tritunggal Mahakudus senantiasa menyertai anda sekalian!
Salam persaudaraan, 

                                                         by jojo nenek

0 like,komen,fb: